Rabu, 11 Juni 2014
MENDAKI GUNUNG TOMPOTIKA
Berikut catatan perjalanan Imanuel Monggesang...Kabupaten Banggai sebagai kabupaten di ujung timur Sulawesi juga memiliki beberapa gunung, diantaranya Gunung Tompotika 1530 Mdpl, Gunung Hek 2565 Mdpl dan Gunung Julutumpu 2230 Mdpl. Ketiga gunung tersebut termasuk dalam kategori tidak aktif. Gunung Tompotika walaupun ketinggiannya lebih rendah bila dibandingkan dengan dua gunung yang lain, namun gunung ini sangat dikenal oleh masyarakat kabupaten Banggai. Hal ini terkait dengan sejarah masa lampau masyarakat Banggai, Balantak dan Saluan. Di kalangan pendaki gunung terutama pencinta alam, gunung ini paling sering menjadi lokasi pendakian untuk berbagai kegiatan seperti ekspedisi, peringatan Hari Kemerdekaan maupun kegiatan pendidikan bagi anggota pencinta alam.
Jalur pendakian yang sering dilewati yaitu melalui Dusun Trans Tanah Merah Desa Sampaka Kecamatan Bualemo. Tranportasi menuju lokasi awal pendakian ini dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 5 jam dengan kendaraan angkutan umum roda empat maupun roda dua dari Luwuk ibukota Kabupaten Banggai. Dari Dusun Trans Tanah Merah, pendakian dilakukan melewati kebun milik penduduk sekitar kemudian melewati hutan dan menyeberangi beberapa sungai dan tiba di lokasi Camp Damar dengan waktu tempuh kurang lebih 8 jam dan kondisi medan bervariasi. Lokasi ini sering dijadikan tempat istirahat dan bermalam bagi para pendaki sebelum melanjutkan ke lokasi camp berikutnya pada esok hari dan disini kita harus mengisi air secukupnya untuk persediaan di lokasi camp berikutnya.
Perjalanan selanjutnya menuju Camp Pintu Angin dapat ditempuh kurang lebih 7 jam dengan kondisi jalur tanjakan dan melewati hutan pinus. Hutan pinus dijalur ini sering terbakar. Hembusan angin dingin di lokasi camp ini cukup kencang sehingga para pendaki menamakannya Camp Pintu Angin. Disini para pendaki sering bermalam sambil menikmati pemandangan Desa Bualemo dan sekitarnya.
Pada esok harinya, pendakian menuju Puncak Seasea yang merupakan puncak tertinggi di Gunung Tompotika. Para pendaki umumnya hanya membawa perlengkapan yang perlu serta kebutuhan makan dan minum, perlengkapan lainnya disimpan didalam tenda. Waktu tempuh dari lokasi Camp Pintu Angin menuju Puncak Seasea kurang lebih 2 jam dengan kondisi medan variasi dan melewati bebatuan dan pohon-pohon khas hutan tropis. Puncak Seasea tertutup pepohonan dalam balutan lumut. Perjalanan dapat dilanjutkan ke Puncak Tompotika dengan waktu tempuh kurang lebih setengah jam.
Setelah puas menikmati keindahan puncak Gunung Tompotika dan mengabadikan dalam bentu foto, para pendaki kembali turun menuju lokasi Camp Pintu Angin. Biasanya setelah makan dan packing peralatan, perjalanan pulang menuju Dusun Trans Merah dimulai. Waktu tempuh perjalanan pulang ini kurang lebih 9 jam.
Senin, 31 Maret 2014
Wisata Hutan Manggrove Lera - Donggala
Dusun Lera Desa Tolongano Kabupaten Donggala. Kawasan ini menawarkan pemandangan alam hutan mangrove yang sangat khas dan alami, kawasan mangrove ini terbentuk dari proses alami dimana air laut menjorok masuk kedalam daratan lalu membentuk danau dan rawa yang dikelilingi hutan mangrove dan perbukitan. Kawasan ini mudah untuk dicapai, dari Ibukota Donggala, anda hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit dengan menempuh jarak kurang lebih 20 kilometer. Sepanjang jalan menuju Dusun Lera anda dapat menikmati keindahan pesisir laut selat Makasar, ditambah dengan menyaksikan keseharian masyarakat banawa akan melengkapi pengalaman pelesiran anda. Saat tiba di Dusun Lera anda bisa mampir sejenak di sekitar jembatan Lera untuk menyaksikan sungai air asin yang membentuk danau kawasan mangrove ini. Selanjutnya anda bisa berpuas diri mengelilingi dan menikmati keindahan alam disini dengan menggunakan jasa penyewaan perahu temple milik masyarakat. Karena keunikan type dan model ekosistim lingkungannya, maka kawasan ini juga memiliki biota dan spesies kehidupan yang juga unik. Beraneka ragam jenis mangrove, burung dan flora fauna lainnya bisa anda saksikan disini. Beberapa peneliti pernah melakukan berbagai penelitian disini terkait dengan ekosistim lingkungannya. Bagi penggemar pancing kawasan ini merupakan pilihan yang tepat sekaligus menyenangkan bagi mereka. Danau air laut yang tenang dan cukup dalam menjadi rumah berbagai jenis ikan. Meski potensi kawasan ini sangat besar untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata alam atau wisata pendidikan lingkungan yang pada akhirnya bisa menjadi sumber pendapatan masyarakat dan penyumbang pendapatan daerah, belum tampak inisiatif pemerintah setempat untuk memajukan dan mengembangkan daerah ini.
Kamis, 27 Februari 2014
Suku Ulumanda, Sulawesi Tengah
Suku Ulumanda, adalah suatu kelompok masyarakat yang
terdapat di kabupaten Poso provinsi Sulawesi Tengah. Populasi suku Ulumanda ini
diperkirakan mencapai sebesar 31.000 orang.
Suku Ulumanda dikelompokkan ke dalam bagian sub-suku Bungku,
dikarenakan banyak terdapat kesamaan sejarah masa lalu, budaya dan bahasa. Hal
ini juga dibenarkan oleh orang Ulumanda, bahwa mereka dengan suku Bungku
sebenarnya sama, hanya perbedaan lokasi saja lah yang membuat mereka dianggap
berbeda.
Selain dengan suku Bungku, suku Ulumanda juga terkait
kekerabatan dengan suku Bugis, dilihat dari segi tradisi adat-istiadat dan
budaya mereka.
Mayoritas masyarakat suku Ulumanda adalah penganut agama
Islam. Mereka adalah muslim yang taat, terlihat dari sikap dalam kehidupan
sehari-hari serta beberapa tradisi adat mereka banyak mengandung unsur Islami.
Suku Ulumanda dalam kehidupan sehari-hari hidup pada bidang
pertanian, terutama pada tanaman padi dan tanaman sayur-sayuran serta
buah-buahan. Selain itu mereka juga memanfaatkan hasil hutan dan hasil bumi,
seperti bahan baku mineral, pasir, karomit, rotan dan kayu hitam dan lain-lain.
Sementara penduduk Ulumanda yang mendiami daerah pesisir memilih profesi
sebagai nelayan, dan kehidupan sebagai nelayan menjadi pilihan utama dalam
hidup mereka.
Suku Bobongko, Sulawesi Tengah
Suku Bobongko, adalah suku yang secara turun-temurun telah
mendiami desa Lembanato di daerah kepulauan Togean di kabupaten Poso provinsi
Sulawesi Tengah, sejak ratusan tahun yang lampau. Populasi suku Bobongko
diperkirakan sebesar 1.057 orang.
Pemukiman suku Bobongko ini berada dekat dengan hutan Bakau
yang kelestariannya tetap dijaga masyarakat suku Bobongko ini sejak beberapa
abad yang lalu. Nama desa suku Bobongko ini, yaitu Lembanato berasal dari kata
"malombanakon", dari bahasa Bobongko, yang berarti menggusur tanah.
Asal-usul orang Bobongkko diduga berasal dari Balanggala
(Balingara sekarang) sekitar 1.000 tahun yang lampau.
Kawasan hutan bakau bagi masyarakat suku Bobongko dianggap
penting untuk tetap dijaga kelestariannya, selain itu mereka juga menjaga
kehidupan binatang-binatang, termasuk burung yang banyak hidup di sekitar hutan
bakau ini. Sehingga bagi siapapun yang melintas di hutan bakau ini tidak boleh
berisik, tidak boleh mengagetkan binatang apa pun yang dijumpai, tidak boleh
merokok, sebab asap rokok akan mengusik hewan-hewan. Di kawasan hutan bakau
ini, juga banyak babirusa (Babysousa babirussa) yang hidup di tempat ini. Orang
Bobongko menyebut Babirusa ini sebagai Dongitan.
Dahulu dongitan (babirusa), adalah makanan utama orang
Bobongko, sebelum mereka mengenal agama Islam. Saat ini mayoritas orang
Bobongko adalah pemeluk agama Islam. Perburuan dongitan tidak pernah lagi
dilakukan. Kecuali apabila dongitan ini memasuki wilayah perkampungan dan
mengganggu kebun dan ladang mereka. Sebagian ada yang membunuhnya dengan tombak
atau perangkat jerat tali kaki, namun
biasanya dongitan hanya diusir sejauh mungkin dari kebun
hingga masuk kembali ke dalam hutan.
Suku Bobongko berbicara dalam bahasa Bobong, yang merupakan
bahasa utama bagi masyarakat Bobongko dalam berkomunikasi di antara sesama
orang Bobongko. Selain bahasa Bobongko, mereka juga bisa berbicara dalam bahasa
Melayu Sulawesi Tengah yang mirip dengan bahasa Melayu Manado.
Suku Bobongko di kepulauan Togean ini hidup berdampingan
dengan suku Bajo, yang juga telah lama bermukim di wilayah ini. Di antara
mereka terjadi hubungan yang baik, dalam melakukan berbagai kegiatan termasuk
dalam hal mencari ikan di laut. Hanya saja mereka menggunakan teknik illegal
dalam menangkap ikan.
Masyarakat suku Bobongko mengelola hutan-hutan sagu yang
disebut gonggan pogaluman. Gonggan berarti sekumpulan pohon (termasuk sagu),
sedangkan pogaluman berarti kebersamaan,
asal kata mogalom atau bersama. Gonggan pogaluman dikelola dan dimanfaatkan
secara bersama oleh beberapa orang Bobongko. Tiap kelompok Bobongko, baik yang tinggal di Teluk Kilat,
Tumbulawa, maupun desa Baulu masing-masing memiliki satu atau lebih areal
gonggan pogaluman yang dikelola secara terpisah.
Sagu masih menjadi sumber pangan utama penduduk, meski pun
saat ini beras jauh lebih disukai. Sebagian dari mereka menganggap memakan sagu hanya membuat
perut kenyang beberapa saat saja, dibanding jika makan nasi.
Masyarakat suku Bobongko memanfaatkan berbagai jenis
sumberdaya alam yang terdapat di laut dan hutan mangrove, yang menjadi sumber
ekonomi bagi penduduk Bobongko. Berbagai jenis ikan, kerang, udang dan biota
laut lainnya diambil penduduk sebagai komoditas perdagangan maupun untuk
memenuhi kebutuhan pangan mereka. Penangkapan hasil laut melibatkan pula
penggunaan teknik penangkapan, mulai dari pancing, jala, rompong, bagang,
panah, hingga penggunaan bahan peledak dan potasium sianida.
sumber bacaan:
nasrualam: mengintip babirusa di lembanato
lontar: alam dan penduduk kepulauan togean
Suku Kahumamahon, Sulawesi Tengah
Suku Kahumamahon, adalah masyarakat adat yang hidup di desa
Simpang kecamatan Borone kabupaten Poso provinsi Sulawesi Tengah.
Masyarakat suku Kahumamahon ini, dahulunya oleh pemerintah
daerah Sulawesi Tengah sempat masuk dalam kategori masyarakat terasing, karena
pada masa sebelumnya, suku Kahumamahon ini hdup terpencil di pedalaman dan
mengisolasi diri dari dunia luar.
Suku Kahumamahon ini berbicara dalam bahasa Kahumamahon.
Menurut para pakar bahasa, bahwa bahasa Kahumamahon adalah merupakan sub-dialek
dari bahasa Saluan. Bagi masyarakat Kahumamahon sendiri bahasa Kahumamahon
bukanlah sub dialek bahasa Saluan, yang merupakan bahasa tersendiri. Bahasa
Kahumamahon dengan bahasa Saluan memang merupakan bahasa yang mirip, hanya
dibedakan oleh dialek pengucapan dan beberapa kata berbeda. Oleh karena para
ahli sempat menganggap bahasa Kahumamahon dan bahasa Saluan merupakan bahasa
yang sama, yang dibedakan oleh dialek.
sumber:
openlibrary.org/subjects/kahumamahon_(indonesian_people)
Suku Tolaki, Sulawesi Tengah
Suku Tolaki, adalah suatu komunitas masyarakat yang berdiam
di kabupaten Kendari dan Konawe di Sulawesi Tenggara.
Menurut cerita rakyat, bahwa dahulu ada sebuah kerajaan,
yaitu Kerajaan Konawe. Raja Konawe yang terkenal adalah Haluoleo. Dari
keturunan orang-orang kerajaan ini lah yang menjadi masyarakat suku Tolaki
sekarang.
Pada masa sebelum-sebelumnya orang Tolaki merupakan
masyarakat yang nomaden, mereka bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain,
hidup dari hasil berburu dan mencari tempat baru untuk membuka ladang.
Mereka percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari
daratan china, yaitu dari daerah Yunnan yang bermigrasi ke wilayah ini.
Dalam tradisi orang Tolaki memberi petunjuk bahwa penghuni
pertama daratan Sulawesi Tenggara adalah Toono Peiku (ndoka) yang hidup dalam
gua-gua dan makanannya adalah Sekam (Burhanuddin, 1973:53)
Orang Tolaki pada umumnya menamakan dirinya Tolahianga yang
artinya orang dari langit, yaitu dari Cina. Kalau demikian istilah Hiu dalam
bahasa Cina artinya langit dihubungkan dengan kata Heo (Oheo) bahasa Tolaki
yang berarti terdampar atau ikut pergi ke langit (Tarimana, 1985).
Orang Tolaki memiliki beberapa budaya seni, yaitu:
tari Mondotambe
tari Lulo
tari Mekindohosi
tari Moana
dan
musik bambu
Upacara adat yang populer dari suku Tolaki adalah Upacara
Adat Mosehe, yang merupakan salah satu bentuk upacara ritual yang bertujuan untuk
menolak datangnya malapetaka karena telah melakukan pelanggaran baik sengaja
maupun tidak sengaja.
Mayoritas suku Tolaki adalah pemeluk agama Islam. Agama
Islam berkembang di wilayah ini sejak beberapa abad yang lalu. Masyarakat
Tolaki adalah pemeluk agama Islam yang taat.
Orang Tolaki berbicara dalam bahasa Tolaki. Bahasa Tolaki
merupakan cabang dari bahasa Austronesia, dan masih berkerabat dengan bahasa
Mekongga. Budaya dan bahasa Tolaki memiliki banyak persamaan dengan budaya dan
bahasa Mekongga. Kemungkinan antara suku Tolaki dan suku Mekongga masih
terdapat kekerabatan dari sejarah asal-usul di masa lalu.
sedang memproses sagu
Masyarakat suku Tolaki pada umumnya bertahan hidup dengan
berladang dan bersawah. Kebutuhan akan air sangat tinggi, untuk kelangsungan
pertanian mereka. Kehadiran sungai Konawe sangat membantu pertanian mereka.
Sungai Konawe membelah daerah ini dari barat ke selatan menuju selat Kendari.
Di luar kegiatan bertani, mereka juga memanfaatkan hasil
hutan untuk mencari sagu. Sagu (sinonggi atau papeda) menjadi makanan favorit
orang Tolaki selain beras. Selain itu batang sagu juga dijadikan tikar dan
daunnya dimanfaatkan untuk atap rumah. Sayangnya sagu ini hanya diperoleh dari
alam dan belum dibudidayakan. Selain itu mereka juga memiliki kebiasaan
menangkap ayam hutan dengan alat kati.
Senin, 20 Januari 2014
Orang Katu, Sulawesi Tengah
Orang Katu, adalah penduduk desa Katu kecamatan Lore Tengah kabupaten Poso provinsi Sulawesi Tengah. Populasi orang Katu di desa Katu adalah sebesar 226 orang.
Orang Katu, bukanlah merupakan sebuah "suku kecil", dengan kata lain mereka adalah suatu "kelompok kecil" dari suku Besoa. Mereka memiliki beberapa perbedaan kecil dengan sub-suku Besoa lainnya. Menurut orang Besoa, bahwa orang Katu ini adalah bagian dari sub-suku Besoa (Behoa), karena mereka tinggal di daerah bernama Besoa Kakau, oleh karena itu orang Katu inipun disebut juga sebagai orang Besoa Kakau. Menurut orang Katu sendiri mereka memang termasuk bagian dari suku Besoa. Bahasa yang digunakan oleh orang Katu juga termasuk dalam kelompok bahasa Besoa, tapi mereka memiliki dialek dan beberapa perbendaharaan yang berbeda dengan kelompok sub-suku Besoa lainnya.
Pemukiman desa Katu adalah salah satu desa dari 21 desa yang berada di kecamatan Lore Utara. Saat ini menjadi salah satu desa dari 7 desa di kecamatan Lore Tengah kabupaten Poso provinsi Sulawesi Tengah yang berada pada ketinggian 1100 m dpl dan berada di tengah hutan pedalaman.
Orang Katu berbicara menggunakan bahasa Besoa ketika berkomunikasi di antara mereka, atau dengan sesama sub-suku Besoa lainnya, atau orang Napu, suku tetangga mereka yang menggunakan bahasa Pekurehua. Antara orang Besoa dan orang Napu memang dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa masing-masing.
Tahun 1300 masyarakat adat Katu sudah hidup menyebar di wilayah adatnya, kemudian tahun 1908 Belanda masuk Katu dan memaksa masyarakat katu pindah dari wilayah adat mereka ke suatu tempat yang disebut Bangkeluho, kemudian karena wabah penyakit, masyarakat Katu bergerak kembali ke wilayah adat mereka, kemudian pada tahun 1919 orang Katu dipaksa dipindahkan lagi ke Bangkeluho, tapi masyarakat Katu menolak dan pada tahun 1956 masyarakat Katu mengeluarkan sumpah adat “Totovi Tauna To Ara Iwanua Katu”. Proyek pada tahun 1985 proyek Konservasi Lore Lindu bermaksud memindahkan masyarakat Katu yang ketiga kalinya, tapi masyarakat sudah sepakat dan kembali mengeluarkan sumpah “Iheana Tauna Toi Katu To Barani Mopelahi Wanua Katu, Ina Nadampangi Daana Nunu Dee. (Barang siapa orang Katu yang berani meninggalkan desanya akan ditindis dahan-dahan beringin yang sedang rimbun dan mendapatkan Bala dalam kehidupannya).
Orang Katu adalah penganut agama Kristen Protestan. Menurut penuturan beberapa pemuka masyarakat Besoa, sejak tahun 1929, orang Katu sudah menjadi penganut Kristen. Pada tahun 1909, P.Ten Kate, seorang zending telah ditempatkan di Napu (Kruyt), 1975 :184, kemudian Kristen pertamapun berdiri di Watutau (Napu) dan Doda (Besoa), dan tahun 1913, seorang pemuda menjadi orang Kristen Pertama di Baptis di Napu (Aditjondro, 1979).
Peitua Torae
ketua adat orang Katu
pic pusaka
Segala keputusan adat yang berlaku dalam masyarakat adat Katu diatur berdasarkan musyawarah adat yang dipimpin oleh Ketua Lembaga adat (orang yang dituakan di desa) dan tugas sekretaris mencatat proses musyawarah yang dilakukan dan anggota lembaga adat dan ikut memutuskan dalam musyawarah baik dalam musyawarah adat dalam masalah konflik pengelolaan hutan maupun permasalahan sosial masyarakat adat Katu.
Orang Katu pada umumnya hidup pada bidangi pertanian ladang dan sawa dan berkebun untuk tanaman coklat. Selain itu mereka memanfaatkan hasil hutan untuk mengumpulkan rotan dan apapun yang tersedia di hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
sumber:
toikatuiwanuakakau: sistem land tenure orang katu
nasrualam.multiply.com
adat.fwi: komunitas katu
sumber lain dan foto:
tanah-merdeka.blogspot.com
pusaka: orang katu
Langganan:
Postingan (Atom)