Kamis, 11 Juli 2013

MENYUSURI SEMENANJUNG BALAESANG




TRAVELING menyusuri Tanjung Balaesang begitu melelahkan, jalanan yang penuh lubang di sana sini membuat sepeda motor tak bisa melaju melebihi 30 km/jam. Apalagi di lalui di saat hujan turun, huuuu jalan begitu licin dan genangan air membuat perangkap pada lubang-lubang jalan, di tambah lagi jurang dan tebing yang mudah longsor semakin menambah kehati-hatian. Memasuki desa Walandano ada sebuah pantai kecil yang indah, di kanan kirinya terdapat bebatuan besar sebagai penghiasnya, asik juga nongkrong di atasnya memandang laut sambil menikmati sebatang rokok, di bawah ombak berdebur menabrak bebatuan…hmmm indahnya hidup.

Perjalanan di lanjutkan menuju desa Malei, dalam perjalanan mampir sebentar di sebuah air terjun yang berada tepat di tepi jalan. Walau tak begitu tinggi tapi cukup lumayan buat berfoto-foto ria (narsis). Desa Malei merupakan desa yang cukup luas dan padat, di bandingkan dengan desa lainya desa Malei ini lebih maju, rumah rumah permanen berjejer rapi di sepanjang jalan desa begitu juga dengan bangunan sekolahnya yang berdiri kokoh. Lalu sepeda motor meninggalkan desa malei menuju Rano/Danau Balaesang, kondisi jalanya tidak kalah hancur dengan jalan sebelumnya dan hujanpun mulai turun menambah serunya perjalanan kali ini. Hutan di kanan kiri yang masih terawat baik sedikit menjadi hiburan, kira-kira 45 menit perjalanan akhirnya Rano/danau Balaesang terlihat di pelupuk mata. Tak seperti ku sangka danau ini cukup luas juga, pohon sagu, rawa, pohon kelapa banyak terdapat di tepi danau. Di kejauhan tampak desa Rano, masih perlu beberapa menit lagi untuk sampai ke sana, memasuki desa Rano jalananya masih berupa tanah, rumah-rumah panggung banyak berdiri berjejer di tepi danau, perahu-perahu tertambat rapi, anak-anak asik bermain air menjadikan tontonan menarik.

Hujan semakin deras ketika aku meninggalkan Rano Balaesang, kembali perjalanan menyusuri Semenanjung Balaesang di lanjutkan. Kondisi jalanya tak berupah, masih tetap penuh lubang di sana sini, kali ini jalanya naik turun naik turun bukit membuat kaki harus lincah memainkan rem dan gigi motor untuk menghindari lubang-lubang yang menganga…Sayang waktu sudah memasuki siang hari, dan hujanpun tak henti-hentinya turun, setelah bertanya pada seseorang ternyata desa / manimbaya tak jauh lagi, tapi karena waktu yang telah mepet akhirnya ku putuskan segera kembali ke Palu..

SUMBER : https://www.facebook.com/photo.php?fbid=4651233412484&set=gm.687104591316503&type=1&relevant_count=1&ref=nf

Sabtu, 06 Juli 2013

Sungai Miu & Gumbasa



Letak Geografis

Wilayah Sungai Miu dan Gumbasa secara administratif terletak pada Kabupaten Sigi Biromaru yang beribukota di Biromaru, merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Tengah. Sungai Miu dan Gumbasa termasuk dalam Wilayah Sungai Palu-Lariang, secara geografis terletak di 0º30” LU dan 2º20” LS, serta antara 119º45” -121º45” BT, daerah ini berbatasan dengan Kota Palu di Utara, Kabupaten Donggala dis Barat, Provinsi Sulawesi Selatan di Selatan dan Kabupaten Parigi Moutong di Timur. Luas wilayah daerah ini adalah 10.471,71 Km².

Sungai Miu dan Sungai Gumbasa merupakan anak sungai utama pembentuk aliran Sungai Palu. Kedua sungai ini berada di kawasan hulu DAS Palu yang mengalirkan debit sepanjang tahun.

Potensi DAS Miu dan DAS Gumbasa1.
Sarana dan Prasarana Sumber Daya Air

Sarana dan prasarana bangunan sumber daya air antara lain, bendungan (dam), bendung (weir), saluran irigasi, saluran drainase, bangunan pengendali banjir, tanggul banjir, saluran pengelak banjir dan sebagainya. Bangunan irigasi yang penting di WS Palu Lariang antara lain:a. Bendung Gumbasa. Saat ini mengairi lahan persawahan seluas 6.972 ha (luas fungsional). Kondisi bendung saat kunjungan lapangan (Juli 2007) masih dalam kondisi baik dan terawat. Tetapi kondisi saluran induk pada bulan Juni 2005 mengalami kerusakan karena adanya longsoran lahan yang masuk dan menimbun saluran induk sepanjang 5 km di Desa Sibalaya. Telah dilakukan pengerukan atas timbunan tersebut, tetapi pada bulan Agustus 2005 terjadi timbunan lagi akibat dari putusnya saluran syphon dibawah saluran induk. Upaya-upaya perbaikan telah dilaksanakan dan saat ini Irigasi Gumbasa telah befungsi dengan normal kembali.
b. Bendung-bendung lainnya dalam skala yang lebih kecil dan dilaporkan kondisinya dalam keadaan baik.
c.
Intake PDAM dilaporkan dalam kondisi rusak dan tidak beroperasi secara optimal. Dimasa depan direncanakan pengambilan air dari S.Gumbasa sebesar 500 l/detik.



2.  Air Minum

Kapasitas produksi potensial air minum di Kabupaten Sigi Biromaru/Kota Palu pada tahun 2004 mencapai 399 liter/detik dan kapasitas efektif yang dihasilkan oleh PDAM Sigi Biromaru/Palu adalah 254 liter/detik (63,6%) (BPS Prov. Sulteng, 2004). Sumber air untuk memenuhi kebutuhan air minum Kota Palu dan Kab.Sigi Biromaru diambil dari sungai dan mata air. Pengambilan sumber air dari sungai dimulai pada tahun 1971 tetapi upaya ini tidak berjalan sesuai dengan rencana

3. Potensi Sumber Tenaga

Pada beberapa lokasi dalam DAS Miu dan Gumbasa, khususnya yang berada di daerah hulu Sungai Miu dan Gumbasa, terdapat beberapa titik potensial untuk pengembangan pembangkitan listrik tenaga air (PLTA). Kondisi ini ditunjang dengan beda tinggi (head) yang cukup besar dengan debit air yang konstan sebagai energy potensial untuk menggerakkan turbin-turbin pembangkit listrik.
Lokasi yang strategis tersebut adalah outlet Danau Lindu atau Sungai Rawa pada elevasi +980 mdpl, dengan kapasitas debit berkisar 45 m³/detik, dan outlet Sungai Sopu (awal S. Gumbasa) dengan elevasi + 550 mdpl dengan debit berkisar 100 m³/detik. Selain itu, untuk opimasi penggunaan air Bendung Gumbasa, dapat pula dimanfaatkan airnya bagi pembangkitan tenaga listrik skala mini dengan memanfaatkan jaringan irigasi yang sudah ada. Dengan menggunakan jenis turbin pembangkit untuk head yang rendah, potensi aliran irigasi Gumbasa berpotensi untuk dimanfaatkan bagi pembangkitan tenaga listrik untuk daerah-daerah disekitarnya.
Babarapa lokasi lainnya yang juga berpotensi adalah sungai-sungai yang menghasilkan terjunan 20 – 40 m yang terletak di sisi barat DAS Palu, tepatnya di desa Kaleke, Wera dan sekitarnya. Beberapa investor sebenarnya tertarik untuk melakukan investasi dan telah melakukan studi kelayakan untuk Sungai Rawa dan Sungai Gumbasa. Studi kelayakan telah dilakukan dan pihak investor bahkan telah sampai pada tahapan exspose kepada pihak-pihak yang berkepentingan seperti Pemerintah Daerah Kabupaten Sigi Biromaru dan Kota Palu, LSM, perguruan tinggi dan dinas-dinas terkait lainnya.

POTENSI SUNGAI LARIANG



Letak Geografis

Wilayah Sungai (WS) Palu Lariang adalah salah satu WS lintas provinsi yang berada di Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Total luas WS Palu Lariang adalah 14,550 km², dan DAS Lariang yang menjadi lokasi studi dan pekerjaan kali ini merupakan salah satu DAS utama di WS Palu Lariang (A02 – 22). Dengan luas keseluruhan daerah pengaliran sungai sebesar 7.069 km² (atau sekitar 49 % dari luas total WS Palu-Lariang), menjadikan DAS Lariang daerah aliran sungai terbesar di dalam WS Palu-Lariang.



DAS Lariang yang terletak pada posisi geografis 1° 10’ LS – 2° 29’ LS dan 119° 16’ BT – 120° 31’ BT, berada di 3 provinsi, yaitu Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Barat. Hal tersebut menempatkan DAS Lariang sebagai DAS yang memiliki kompleksitas pengelolaan yang lebih besar dari DAS-DAS atau WS lainnya dalam WS Palu-Lariang, meskipun prosentase terbesar DAS Lariang berada di Provinsi Sulawesi Tengah. Bagian hulu DAS Lariang terletak di dua provinsi, yaitu bagian selatan DAS Lariang berada di Provinsi Sulawesi Selatan (Kecamatan Masamba), sedang bagian utara dan tengah berada di Kecamatan Lore Utara dan Lore Tengah. Bagian tengah DAS Lariang terletak di Kecamatan Kulawi dan Kecamatan Pipikoro, sedangkan bagian hilir berada di Kecamatan Rio Pakawa dan Kecamatan Pasangkayu, Kabupaten Mamuju Utara Provinsi Sulawesi Barat


II.
Potensi Sungai Lariang1. Potensi Air Permukaan

DAS Lariang mempunyai curah hujan yang cukup tinggi, bahkan di beberapa lokasi, curah hujan dapat mencapai lebih dari 2500 mm per tahun. Hasil simulasi dengan menggunakan DSS-Ribasim tahun 2005 (PT. DDC dan PT. Wahana Adya Consultan) memperlihatkan bahwa ketersediaan aliran permukaan rerata Sungai Lariang hilir berkisar 232.6 m³/detik. Untuk S. Lariang hulu (segmen Paato – Watutau) debit rerata adalah 26.3 m³/detik, segmen Rompo – Doda adalah sebesar 79.1 m³/detik, segmen Gintu – Tuare adalah sebesar 85.4 m³/detik, segmen Lariang 6 ke hilir sebesar 160.4 m³/detik dan segmen Lariang 7 hulu adalah sebesar 169.1 m³/detik. Jadi terjadi peningkatan debit ke arah hilir sungai utama. Potensi air permukaan ini sangat besar jumlahnya dan dapat dipakai untuk berbagai macam keperluan, diantaranya adalah untuk penambahan areal irigasi, baik yang sudah ada maupun yang baru direncanakan (ekstensifikasi), untuk keperluan perkebunan dan ground water recharge scheme, sampai kepada pemanfaatan air; dengan memanfaatkan head yang tersedia, untuk keperluan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) skala menengah keatas. Selain itu, potensi air permukaan ini dapat pula dikembangkan untuk keperluan rekreasi dan olah raga air serta perikanan darat.
2. Potensi Air Tanah
potensi air tanah tidaklah merata tersebar di DAS Lariang. Mayoritas daerah yang ada mempunyai kondisi air tanah yang langka, hal mana berhubungan erat dengan kondisi topografi wilayah yang berbukit-bukit hingga bergunung. Akifer produktif tinggi dapat dijumpai di daerah hilir DAS, tepatnya di daerah Pasangkayu yang topografinya datar (0 – 2 %), sedangkan di Lembah Napu, sebagian akifer mempunyai kandungan air tanah dengan produksi sedang – tinggi yang pula berhubungan erat dengan kondisi topografi wilayah setempat. Potensi air tanah dapat dikembangkan untuk keperluan irigasi (jika air permukaan tidak mencukupi) dan untuk penyediaan air baku bagi keperluan penduduk dan industri/perdagangan.
3. Potensi lahan

Sebenarnya, sebagian besar DAS Lariang merupakan daerah berbukit dan pegunungan dengan kemiringan lebih besar dari 60 %, sehingga mayoritas lahan di DAS Lariang ini adalah berupa hutan asli yang dilindungi (hutan lindung) sebagai penyangga (buffer zone) dan daerah tangkapan air. Akan tetapi di sebagian kecil daerahnya sangat potensial untuk lebih dikembangkan melalui sistem pertanian, perkebunan dan agroforestry yang dapat menambah penghasilan masyarakat di sekitarnya dan juga bagi pemda setempat. Beberapa lokasi/wilayah yang dapat dikembangkan diantaranya adalah daerah Lembah Napu, mulai dari Desa Kaduaa hingga ke daerahTalabosa (pertanian dan perkebunan), Desa Watumaeta – Winowanga (perkebunan dan pertanian) hingga Watutau (perkebunan) serta Danau Wanga untuk keperluan perikanan darat dan rekreasi.
4. Potensi PLTA

Seperti telah disebutkan sebelumnya, Sungai Lariang sangat berpotensi untuk dikembangkan dan dimanfaatkan airnya bagi keperluan PLTA. Dari hasil studi peta topografi dan Citra Satelit (Landsat 7 ETH +) serta kondisi geologi kawasan, terdapat sedikitnya empat (4) lokasi yang potensial untuk dikembangkan. Dua lokasi di Kecamatan Lore Selatan dan dua lokasi terdapat di Kecamatan Pipikoro dan/ atau di Kecamatan Kulawi bagian barat.
Ke-empat lokasi tersebut tidak dilalui sesar aktif Palu-Koro, sehingga dari pertimbangan geotektonik, lokasi terpilih relatif aman untuk pembangunan bangunan bagi keperluan pembangkitan listrik tenaga air seperti bendungan, pelimpah, pipa pembawa dan pipa pesat, generator dan turbin, jaringan distribusi dan tail-race.
Dengan pembangunan PLTA yang merupakan sumber energi terbarukan (renewable energy) setidaknya dapat menjawab persoalan kelistrikan di Sulawesi Tengah umumnya dan Kota Palu khususnya yang akhir-akhir ini tidak dapat memenuhi pasokan daya bagi seluruh pelanggan dengan mesin pembangkit yang ada.

Jumat, 05 Juli 2013

Potret Masyarakat Pesisir Desa Walandano



Program Upaya Penyelesaian Konflik Pengelolaan Sumberdaya Laut Berbasis Komunitas Di Kecamatan Balaesang Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah ( Kerjasama : LPA.Awam Green, PTD Propinsi Sulawesi Tengah, UNDP dan Bappeda Propinsi Sulawesi Tengah )

Catatan Lapangan : Budiansyah ( LPA. Awam Green )

Desa Walandano merupakan salah satu desa dalam wilayah administratif kabupaten Donggala tepatnya daerah pesisir pantai barat Kecamatan Balaesang Tanjung. Jarak dari ibu kota kabupaten menuju Desa Walandano kurang lebih 140 Km dan dari ibu kota provinsi 110 Km, bila di tempuh melalui perjalanan darat rata-rata 3 sampai 4 jam. Ini karena kondisi jalan yang masih dalam perbaikan di beberapa tempat. Perjalanan dari ibu kota Kabupaten dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi laut yaitu dengan menggunakan perahu motor. Waktu yang dihabiskan melalui perjalanan laut, 3 sampai 4 jam tergantung kapasitas mesin motor laut tersebut atau kondisi alam.


Dari Ibu kota Kecamatan menuju desa Walandano kurang lebih 10 Km. Sebelah Utara Desa Walandano berbatasan dengan Desa Palau, sebelah Timurnya dengan Desa Lombonga, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tompe dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Malei. Desa ini terbagi menjadi tiga dusun, Dusun satu disebut Lambagu, Dusun dua disebut Walandano dan dusun tiga disebut Lewonu. Jarak antara dusun satu kedusun dua 2 Km, dari dusun dua ke dusun tiga jaraknya 7 Km dengan kondisi jalan yang sangat memprihatinkan.

Jumlah Penduduk Desa walandano 293 KK dengan jumlah jiwa 1.090. Masyarakat yang mendiami desa Walandano dari berbeda-beda suku yaitu Suku Pendau, Suku Sanger, Manado, Kaili, Bajo serta Pamona dan Kulawi. Persentase pemeluk agama di Desa Walandano, 60 % beragama Kristen dan 40 % beragama Islam.

Mata Pencaharian masyarakat Desa Walandano 58 % petani, 37 % nelayan dan 5 % pedagang. Rata-rata kepemilikan lahan, antara 0,5 sampai 2 Ha Per kepala keluarga, dan komoditi yang menjadi favorit yaitu Cengkeh, Pala, Coklat, Kelapa dan ada sebagian kecil masyarakat yang menanam rica dan kopi. Selain dari sektor pertanian, sektor kelautan Desa Walandano memiliki potensi yang sangat kaya seperti ikan, lobster, teripang dan rumput laut, sayangnya potensi tersebut belum bisa di kelola secara maksimal, dikarenakan pengelolaannya masih sangat tradisional.

Secara umum keaadan laut dan terumbu karang desa Walandano masih sangat baik dan terhindar dari bom dan bahan Potasium. Keadaan laut yang masih cukup baik ini bisa di ukur dengan banyaknya nelayan dari tempat lain yang menggantungkan hasil tangkapan dari wilayah laut Desa Walandano, yang sekaligus juga menjadi kekhawatiran.

Terlebih lagi permasalahan batas pengelolaan wilayah laut yang tidak jelas, mengakibatkan penyerobotan atau pengambilan hasil laut yang tidak terkendali mengakibatkan masyarakat setempat tidak mendapatkan hasil yang memadai. Hal ini juga disebabkan para nelayan desa ini masih menggunakan alat tangkap masih tradisional dan jumlahnya masih terbatas.

Sementara nelayan dari luar desa Walandano menggunakan alat tangkap yang memadai dan didukung dengan kendaraan operasional laut yang memadai. Tentunya membuat hasil tangkapan melimpah. Bahkan lebih dari itu mereka menggunakan alat tangkap yang jelas-jelas dilarang karena berbahaya bagi keberlangsungan ekosistem laut seperti pukat harimau. Hal ini sulit di cegah karena masyarakat setempat hanya menggunakan kendaraan operasional laut yang sangat sederhana.

Begitu pun dengan hadirnya rompong-rompong dari desa lain yang tersebar diwilayah laut desa Walandano, juga menambah kekhuwatiran sebagai pemicu konflik. Ini dapat dirasakan saat panen tiba, yang mana nelayan dari desa lain lebih mendahulukan rompong mereka saja. Kalaupun mereka memanen rompong yang dikerjasamakan dengan masyarakat setempat, pembagiannya belum cukup adil, karena terlalu banyak potongan harga.

Gesekan antar wilayah desa, bahkan lintas provinsi ini tentu harus menjadi perhatian semua pihak khususnya Pemerintah Daerah kabupaten, dalam kaitan-nya dengan wilayah tangkap tradisional yang belum diatur secara jelas. Potensi konflik laten yang secara singkat di kemukakan diatas, seharusnya direspon dengan memberdayakan masyarakat itu sendiri berdasarkan pemahaman mereka ( kearifan lokal setempat ) serta mendorong kesepakatan dalam pengelolaan laut yang adil, transparan, bertanggung jawab dan damai.